Satu Tahun Pembelajaran
Mengatur waktu untuk tetap produktif padahal tak ada yang mengharuskannya itu, menurutku sangatlah berat. Kalau bukan karena mimpiku dan pertanyaan kak Irfan sepulang dari kantor atas kegiatanku sepanjang hari, rasanya aku lebih baik diam saja di rumah, berleha-leha, menikmati indahnya Tokyo di segala musim dengan keunikannya yang berbeda-beda.
Setahun ini, sebenarnya aku adalah seorang pengangguran, tapi entahlah aku merasa sangat sibuk.
Baca buku ini, belajar menulis kanji itu, berlatih test ini, mempelajari soal test itu, mencari teman disini, dan mencari kesempatan kerja part time disitu. Walau terlihat begitu-begitu saja, aku merasa bangga atas diriku untuk bisa mencari cara agar tetap produktif setiap harinya.
Melalui postingan ini, aku akan mencoba bangga atas apa yang aku lakukan. Kalau bukan aku, rasanya hal kecil seperti itu bukanlah suatu kebanggaan menurut definisi orang lain. Aku sadar, aku bukanlah mahasiswa yang lulus bisa mendapat pekerjaan dengan gaji besar di perusahaan terkenal. Aku sudah cukup lelah untuk menyalahkan diriku sendiri atas pilihan jalan hidupku.
Satu tahun ini, aku mendefinisikannya sebagai satu tahun pembelajaran.Sangat banyak belajar, belajar hal yang sangat kecil, yang mungkin tak akan pernah aku lakukan jika aku tidak mengarahkan hidupku untuk ikut kak Irfan ke negara orang. Perkenankanlah aku menceritakannya satu per satu.
Belajar Bertanggungjawab
Jujur saja ini hal pokok yang aku pelajari setelah hidup di Jepang. Aku benar-benar jadi punya tanggung jawab besar atas diriku sendiri. Tidak ada yang memasak untukku, tidak ada yang membantu membersihkan ruanganku, tidak ada yang mencuci dan menyetrika bajuku, bahkan aku harus melakukan hal-hal tersebut untuk orang lain juga, kak Irfan.
Rasanya ini sangat berat bagiku. Di balik aku yang tidak pernah sedikitpun memasak sebelum datang ke Jepang. Aku benar-benar merasa kaget atas urusan kehidupan dasar yang aku harus bertanggung jawab atasnya.
Aku bisa kelaparan kalau aku tidak bergerak untuk memasak. Aku bisa tidak punya baju kalau aku tidak mencuci baju. Tidak ada mama yang membantuku ketika aku sedang malas atau terlalu sibuk membaca buku di kamar. Tidak ada juga tukang jual lalapan dekat kosan, tempat aku datang ketika aku sedang lapar. Satu tahun ini, aku baru saja memulai jadi orang yang mandiri. Rasanya dia harus berbangga padaku, karena tak seharipun aku skip menyiapkan bekal makan siangnya di kantor dalam setahun ini.
Intinya hidup di Jepang membuatku jadi belajar bertanggung jawab, atas diriku, untuk memenuhi kebutuhan dasarku, dan kak Irfan ku.
Belajar Supaya Punya Teman
Kalau di sekolah atau tempat kerja, kita bisa menemukan teman dengan mudah karena kita memiliki irisan tujuan yang sama. Lalu, bagaimana dengan aku yang tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan manusia?
Tentu, akulah yang harus keluar, mencari cara agar memiliki orang lain yang bisa diajak untuk berbicara. Aktif di pengajian, mencari teman conversation exchange (sekaligus belajar bahasa), daftar kelas-kelas bahasa Jepang, daftar kerja part time, daftar menjadi panitia pemilu, dan lain sebagainya.
Untuk itu, tentu saja aku harus aktif untuk mencari teman, mencari kegiatan di luar rumah. Aku terus coba untuk memuaikan diriku, terus menjadi orang yang menyenangkan dan menempatkan diri di segala kondisi. Hingga sekarang, setidaknya sebagai orang yang bisa aku ajak mengobrol di kota ini, selain kak Irfan.
Belajar Bahasa Jepang
Dari TOEIC. Tentu aku belajar bahasa Inggris. Aku jadi ingat saat aku sangat bodoh dalam hal listening. Aku benar-benar belajar untuk ini. Menonton film, latihan listening dari berbagai sumber berkali-kali, setiap hari. Sungguh sampai detik ini aku bahkan tidak menyangka sampai mendapatkan score sempurna untuk listening TOEIC ku. Atas waktu yang banyak senggang, terimakasih ya, aku jadi benar-benar belajar banyak untuk menjalankan listening test.
Dari GRE. Sudah lelah aku menceritakannya. Di postingan ini, aku menceritakannya. Bagaimana aku akhirnya bisa belajar menulis dengan terstruktur, kritis, dan berbobot melalui analytical writing, belajar matematika dari Quantitative Reasoning, dan belajar bahasa Inggris di level yang sangat-sangat tinggi karena harus belajar untuk Verbal Reasoning. 9 bulan yang sangat berharga, terimakasih pula atas kesempatannya.
Belajar Mencari Produktivitas Lain
Jujur saja, aku ingin bisa bekerja disini, namun apa daya, karena aku tidak bisa bahasa Jepang, sedangkan profesi yang memungkinkan adalah akuntan, tentu saja itu tidak mungkin disini. Satu-satunya yang bisa aku lakukan ya menggunakan jatah untuk bisa bekerja part time yang tidak membutuhkan kualifikasi bahasa Jepang. Salah satu pilihannya adalah jadi guru bahasa Indonesia dan/atau inggris. Berkaitan dengan pengalaman ini, aku sudah pernah menuliskan tentang betapa aku banyak belajar dari mengajar di postingan sebelumnya. Belum lagi aku yang mengajar bahasa Indonesia kepada seorang pemilik perusahaan konsultan yang punya villa di bali, seorang bankir yang target investasinya ke Indonesia, dan seorang anggota ministry of justice, banyak sekali informasi yang aku dapat dari mereka.
Aku sangat bersyukur atas apa yang aku dapatkan selama ini. Aku yang melabeli diriku sebagai avid learner, rasanya cukup sesuai dengan apa yang ku lakukan, bahwa aku tidak akan pernah berhenti belajar.
Tentunya sekarang pun aku juga jadi belajar, kalau definisi sukses itu tidaklah hanya satu. Bisa punya kesempatan yang banyak untuk menyadari bahwa 'hidup adalah untuk terus belajar', merupakan kesuksesan menurut definisiku.
Terus belajar,
Sintia
0 comments