Belajar dari Mengajar
Waktu berlalu sangat cepat, tidak terasa telah 8 bulan aku menjalankan pekerjaan part time (arubaito, dalam bahasa Jepang) ku sebagai guru di sebuah sekolah international, lebih tepatnya disebut kindergarten sih karena aku mengurusi anak berusia antara 3-7 tahun.
Kalau aku ingat pertama kali saat menjalankan pekerjaan itu. Ingin rasanya aku berhenti saat itu juga.
Sebagai anak bungsu, aku sangat tidak berpengalaman untuk berurusan dengan anak kecil
Rasanya di pagi hari aku harus berangkat bekerja adalah sebuah lanjutan mimpi buruk dari tidur di malam harinya.
Hanya kak Irfan yang membuatku jadi berpikir untuk bertahan, ketika dia berkata:
"Setiap awal pasti sulit. Kalau kamu tidak pernah mencoba untuk memahami anak kecil, sampai kapan kamu tidak memahami mereka, Sintia!"
Aku berkata bahwa aku akan mencobanya selama 3 bulan saja, namun entahlah semakin hari rasanya aku malah belajar banyak hal. Sangat banyak.
Belajar Tentang Pendidikan Dini di Jepang
Kata orang, pendidikan dini di Jepang sangat unik karena mereka sangat mengedepankan karakter. Banyak cerita tentang pendidikan Jepang yang khas tersebut. Aku rasa, aku malah sangat beruntung bisa menyaksikannya secara langsung, malah di posisi sebagai guru. Jujur saja, rasanya mereka jauh lebih berkarakter dari aku.
Hal terpenting adalah tentang Tanggung Jawab. Sejak usia 3 tahun, mereka benar-benar bertanggung jawab atas mereka sendiri. Anak-anak dilatih untuk patuh terhadap peraturan dan mengurus segala hal nya sendiri. Hal yang terlihat tidak penting dan mudah olehku sebelumya, ternyata itu sangat berharga dalam membentuk karakter anak.
Setiap pagi misalnya, mereka harus bertanggung jawab sendiri untuk melepas sepatu outdoor, meletakkan sepatu outdoor di lemari, mengganti dengan sepatu indoor, menaruh tempat minum di keranjang minum, menggantung handuk cuci tangan dekat wastafel, dan menggantung tas mereka di tempat yang telah disediakan. Itu yang paling sederhana.
Tapi dari situ, aku baru tau ternyata anak kecil tak semudah itu ya melakukannya. Aku terus memantau mereka setiap pagi untuk bisa menjalankan kebiasaan itu. Ada yang kesulitan mencari letak handuk di tasnya, kesulitan mengaitkan tali handuk ke gantungannya, ada yang masuk kelas tanpa mengambil sepatu indoor nya, dan hal lain. Saat itu, aku melihat betapa mereka jadi sangat bertanggung jawab atas diri sendiri. Guru tak boleh sedikitpun membantu, kecuali memang dimintai bantuan, mereka pun tidak cukup manja untuk langsung minta bantuan guru ketika kesulitan melakukan sesuatu.
Dari mengajar juga, aku baru percaya kalau anak kecil di Jepang membersihkan sendiri ruang kelasnya setiap hari. Bayangkan mereka yang masih berusia 4 tahun sudah berkewajiban untuk mengepel lantai, membereskan kursi, dan mengelap meja bersama-sama setelah jam makan siang. Belum lagi, setiap cuci tangan, jalan ke perpustakaan, semuanya harus berbaris rapi, lalu ketika ada yang memotong antrian, langsunglah disidang habis-habisan.
Dan masih banyak hal lain lagi, yang aku tahu tentang betapa uniknya pendidikan usia dini disini. Sangat banyak nilai yang ditanamkan dari kecil. Rasanya aku mau buat postingan terpisah saja untuk ini, terlalu banyak yang unik wehehe.
Belajar Mendefinisikan Jadi Ibu yang Baik
Ibu Jepang memanglah para ibu yang sibuk. Saking dekatnya dengan orang tua, membuat guru jadi sangat tahu tentang karakteristik orangtuanya juga. Tidak sedikit, seorang ayah yang lebih dominan mengurus anaknya, ternyata sih usut punya usut, ibunya punya karier bagus sehingga ibunya lebih sibuk sehingga sama sekali jarang terlihat antar jemput si anak. Dari situ, aku jadi berpikir, kok rasanya kurang bagus ya seorang ibu tidak berkooperatif dengan si ayah mengurus si anak. Btw disini memang ibu dan ayah punya peran yang sama dalam mengurus anak, beda ya kayak di Indonesia wehehe.
Ketidakpedulian ibu jadi sangat terlihat karena guru ikut mengecek apa saja yang dibawa si anak. Apalagi kalau hari senin, mereka yang membawa pulang segala peralatan sekolahnya di hari Jumat, harus membawanya di hari Senin. Ada yang lupa bawa baju ganti, tidak bawa buku PR, tidak mengerjakan PR, bawa sepatu indoor tanpa membawa tas sepatunya, bahkan pernah ada yang lupa tidak bawa tas sekolah (ini gokil sumpah, mama nya udah rapi kayaknya mau meeting pagi gitu wkwk). Bahkan untuk yang usia 3 tahun. Temanku menunjukkan kepadaku bahwa ada ibu yang lupa tidak mengeluarkan popok sisa selama 2 hari (prosedur: popok lama dibawa pulang si anak, dibuang di rumah, besoknya bawa popok baru, itu ceritanya 2 hari popok lama masih di tas heuu).
Intinya dari sini, aku jadi mulai terbayang sih, apa yang seharusnya tidak aku lakukan suatu saat nanti ketika punya anak agar disebut sebagai ibu yang baik :')
Mengetahui Karakteristik Anak
Tahu, iya, cukup tahu saja aku sudah bahagia loh.
Seperti yang aku ceritakan di atas, aku sama sekali tidak mengetahui segalanya tentang anak kecil sebelumnya. Rasanya aku baru tahu ketika anak kecil lagi tidak enak badan, dia maunya ndusel-ndusel terus ke orang lain. Maunya diperhatikan terus gitu deh dan jadi lebih sensitif, suka menangis hmm.
Yang paling penting urusan karakteristik anak ini adalah, aku mencoba untuk deal dengan hal-hal yang mungkin menurutku itu tidak penting. Ada banyak sendok pasir, tapi semuanya berebut mau yang warna merah saja. Bingunglah sudah aku mengurusinya. Mana disini hak itu sangat penting diajarkan, misal ada yang mengadu kalau tempat duduknya ditempati orang lain, aku harus marah karena itu berarti si perebut kursi telah mengambil hak milik orang lain, dan ini jangan dibiarkan. Awalnya aku menganggap itu remeh, kan dia bisa pakai tempat duduk yang lain, ternyata itu sangat dilarang, aku baru sadar hal kecil macam itu saja penting ya hmm.
Tentu banyak sekali hal yang aku pelajari disana karena memang aku jadi punya frekuensi yang lebih banyak untuk berurusan dengan anak kecil. Aku jadi tahu juga kalau sebenarnya setiap anak itu sudah punya sifat-sifat bawaan dari lahir kali yang berbeda-beda. Ada yang selalu nangis setiap kalah dari permainan (aku banget wkwk), ada juga yang biasa saja; ada yang hobinya cari masalah biar diperhatikan; ada yang tersinggungan ketika tidak diajak temannya duluan bermain; secara tumbuh kembang anak pun, ada yang langsung pintar bahasa Inggris di kelas, walau orang tuanya tidak bisa, ada juga yang belum banyak bicara walau sudah 3 bulan di sekolah, padahal sang mama paling pintar bahasa Inggris dibandingkan orang tua yang lain.
Sebenarnya setiap jadwal mengajar datang, pada pagi harinya, sampai sekarang pun, aku masih agak berat mau berangkat ke sekolah. Bagaimanapun aku sadar, aku sebenarnya tidak mengajar, aku malah belajar banyak disana.
Aku yakin ini pasti bermanfaat untuk masa depan ku, dan semoga bermanfaat juga bagi teman-teman yang membaca ceritaku.
Terus belajar,
Sintia
0 comments