Mengapa Sintia Menikah Muda?
“Ya aku mau jadi pacar
kamu”
Aku mengatakan itu, pada kak Irfan, saat aku masih menjadi
mahasiswa baru. Bagi keluargaku yang memegang teguh agama, tentu pilihan untuk
pacaran adalah hal yang sangat salah. Aku pun menyembunyikannya lama hingga
ketahuan sih pada akhirnya.
Namun satu hal yang aku lucu, teman-temanku tidak
menyalahkanku ketika mereka tahu aku pacaran di umur 17 tahun. Pertanyaan
bertubi-tubi malah muncul ketika aku memilih untuk menikah dengan Kak Irfan,
kekasihku, di usia 21 tahun.
“Kok nikah muda sih?”
“Percuma pinter, juara dimana-mana, baru lulus langsung
nikah”
“Kamu gak mau bahagiakan orangtua mu dulu apa, kok masih
muda udah nikah?”
Dan banyak pertanyaan yang membuat aku jadi bingung dengan
pilihanku mengiyakan ajakan kak Irfan ke jenjang yang serius ini.
Menikah memang bukan perkara mudah. Menikah adalah pilihan
hidup. Komitmen untuk menikah adalah komitmen besar. Menikah adalah pilihan
sekali seumur hidup, membuat kita harus siap untuk tinggal bersama dengan orang
yang kita pilih, menerima kekurangan yang dimiliki, dan menerimanya selamanya.
Katanya menikah itu sangat sulit karena banyak tanggung jawab yang harus
dijalani. Jujur aku tidak banyak tahu tentang menikah dalam definisi yang
dipersulitkan itu.
Aku mendefinisikan bahwa menikah itu adalah suatu ikatan
dimana aku dan kak Irfan bersatu dalam ikatan yang halal menurut agama dan akan
berjuang menjalani hidup bersama-sama selamanya
Sudah, itu saja. Definisi berjuang pasti bermakna banyak
hal. Intinya aku menganggap menikah adalah perkara yang mudah. Jujur saja aku
menikah tanpa menyadari bahwa aku belum pernah masak sendiri selama hidup,
belum pernah tahu bagaimana membereskan rumah, dan bagaimana harus menjadi
istri yang baik, bahkan sampai terpikir jadi seorang ibu kalau aku langsung
punya anak.
Sebenarnya ini memang salah. Zaman sekarang, menikah muda
memang banyak digaungkan. Teman-temanku sejak mahasiswa bahkan telah belajar
ilmu parenting, dan persiapan sebelum menikah lainnya. Jujur aku merasa masih
kecil kalau memikirkannya. Namun ketika aku melihat betapa aku sangat
menyayangi orang yang telah aku jadikan sebagai pacar selama kuliah itu, aku
tak sanggup lagi melihat hubungan ini terus-terusan tidak mengenakkan di hati
mama dan ayah. Tentu orang tuaku takut dengan segala fitnah yang ada di dunia
yang semakin rusak ini. Aku juga menyadari bahwa berpacaran adalah pilihan yang
salah. Aku harus mengakhirinya, dengan menikah.
Berkaitan dengan karier, aku percaya menikah tidak akan mematikan
langkahku menggapai cita-cita. Kak Irfan
sendiri sangat mendukung aku untuk terus maju. Pertanyaannya sekarang,
cita-citaku apa?
Aku tahu, semua orang berekspektasi, berkarier itu
adalah pergi ke kantor dan mencari uang yang banyak. Jujur saja, cita-citaku
adalah menjadi seorang akademisi, menjadi dosen dan aktif penelitian di kampus.
Sangat jarang dalam setiap harinya, seorang dosen harus bekerja penuh waktu dan
lembur hingga larut malam. Aku tau, aku perempuan, aku menyiapkan bagaimana
kehidupanku untuk berkeluarga, dan aku tidak menginginkan kerja full bahkan
overtime di luar rumah. Menjalankan fungsi sebagai ibu suatu saat nanti dan
tetap bermanfaat untuk ilmu pengetahuan adalah inti dari cita-citaku.
Aku sendiri juga tidak berambisi untuk bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya
walaupun aku bukan berasal dari keluarga mampu. Menjadi kaya memang keinginan,
tapi tidak harus mengorbankan kehidupanku sebagai seorang istri dan ibu di
rumah. Menjadi akademisi memang jadi
cita-citaku dan aku rasa secepatnya aku menemukan jalan untuk mencapainya. (jujur
aja kalau sekarang aku stag sih emang wkwk)
Masalah kebahagiaan orangtua, aku pernah menceritakannya
singkat di feeds instagram ku. Mama dan ayah mengatakan sejak lama padaku,
bahwa kebahagiaan mereka bukan dihitung seberapa banyak aku bisa memberikan
uang pada mereka setelah aku dewasa. Orangtuaku hanya berpesan agar aku selalu
bisa memberikan manfaat untuk lingkungan sekitar, negara, dan agama. Orangtua
ku juga sudah sangat lelah menasihatiku yang tidak mau memutuskan kak Irfan.
Aku tahu mereka takut ikut berdosa membiarkan hubunganku. Kak Irfan yang tidak
melarangku berkarier dan malah akan menambah pengalamanku dengan mengajakku
hidup di Jepang, membuat orangtuaku yakin untuk menyerahkan putrinya kepada kak
Irfan. Tanggungan mereka sudah selesai, dan bakti ku akan selalu ku haturkan
pada mereka.
Aku bukan akun dakwah yang mengajak semua orang menikah
muda. Bagiku menikah itu dilakukan pada waktu yang tepat, dan ketepatan
waktunya berbeda antara banyak orang. Aku memang sudah dipertemukan dengan kak
Irfan sejak usia 17 tahun, aku rasa memang ini waktunya aku menikah. Menikah
itu tidak harus dipaksakan, karena aku tahu, menikah itu juga mahal. Aku tidak bisa menyangkal,
pernikahanku sudah dibuat sesederhana mungkin, masih pengeluaran besar juga.
Terlebih menikah tanpa merepotkan finansial orangtua adalah yang hal yang
sulit, itulah mengapa kak Irfan berjuang hingga bekerja jauh agar bisa segera
merealisasikannya.
Aku tidak pernah sekalipun berkata agar temanku harus segera
menyusulku. Bagiku itu tentang kesiapan mereka masing-masing. Namun memang
kalau melihat orang yang sudah berpacaran lama sekali dan telah menyelesaikan
studinya, rasanya agak aneh kalau mereka terus mempertahankan hubungan pacaran.
Writing my first post in Japan, with Indonesian,
S.
1 comments
surely, aku bahagia banget waktu dapat kabar kalau kamu mau di lamar sm kak irfan,..
ReplyDelete"Akhirnya temen gua gk bakalan LDR an lagi..."