Kalau Aku Punya Aksen Lokal, Tak Bolehkah Aku Bicara Bahasa Global?
“Logatmu loh
mbak Jawa banget”
“Yaampun
cara ngomongmu Indonesia banget sih, Sin”
Indonesia
adalah negara yang peduli satu sama lain. Dengan demikian, sangat biasa apabila
seseorang berkomentar atas apa yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini
ditunjukkan pula dalam kepedulian para kebanyakan masyarakat Indonesia atas
tingkat kemampuan seseorang dalam berbicara menggunakan bahasa Internasional,
yaitu Bahasa Inggris.
Dalam suatu
hal, seseorang memuji orang lainnya karena orang tersebut dapat berbahasa
Inggris dengan baik. Alasannya memang jelas, orang tersebut bisa berbicara
seperti native. Berbicara dengan cepat, pronounciation yang tepat, dan aksen
(British/America/Aussie) yang dimilikinya. Itulah definisi dari orang yang
pintar berbahasa Inggris. Betul memang orang tersebut layak untuk dipuji karena
kehebatannya dalam berbahasa yang bukan bahasa ibunya. Itu sumbu ekstrim
omongan yang pertama.
Di suatu
kondisi ekstrim yang berkebalikan, terdapat seseorang yang berkata kepada
temannya yang mencoba untuk berbicara bahasa Inggris, “Bahasa Inggris kamu
jelek banget sih”. Hal itu diucapkan kepada orang yang mencoba berbicara bahasa
Inggris namun terbata-bata, salah grammar, dan tidak memiliki aksen.
Di samping
pentingnya bahasa Inggris untuk komunikasi internasional. Kepedul
ian dengan komentar pada masing-masing sumbu ekstrim itulah yang akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang dalam keberanian untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Internasional pada masyarakat Indonesia. Menurutku.
ian dengan komentar pada masing-masing sumbu ekstrim itulah yang akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang dalam keberanian untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Internasional pada masyarakat Indonesia. Menurutku.
***
Patut diapresiasi ketika seseorang di negara English as Foreign
Language (EFL) bisa berbicara bahasa Inggris. Mengingat bahasa Inggris bukanlah
bahasa sehari-hari mereka. Indonesia sebagai Negara EFL tentu saja menjadikan
para warganya perlu berusaha keras untuk bisa menguasai bahasa tersebut. Itulah
mengapa sejak TK, bahasa Inggris sudah dikenalkan, dan banyak sekali anak-anak
yang meluangkan waktunya untuk mempelajari Bahasa Inggris seusai sekolah di
lembaga kursus. Bagaimanapun, di Indonesia tersendiri, setiap penduduk yang
duduk di bangku sekolah, pasti pernah masuk ke kelas Bahasa Inggris. Mereka pernah
belajar secara formal di kelas bahwa Good Morning adalah Selamat Pagi.
Hal itu
membuatku menganggap bahwa orang Indonesia secara umum pasti bisa berbahasa
Inggris. Mereka mengetahui beberapa kata, struktur dasar tata bahasa, dan cara
membacanya (pronounciation). Namun
mengingat belajar bahasa haruslah diikuti dengan praktik yang sebenarnya, maka
akan menjadi masalah ketika kita belajar bahasa namun tidak pernah
menggunakannya dalam komunikasi.
Itulah yang terjadi di Indonesia menurutku, banyak orang yang tidak memiliki keberanian untuk berbicara dengan orang asing menggunakan bahasa Inggris. Ketidakberanian tersebut tidak menutup kemungkinan hal itu disebabkan oleh suatu pandangan kalau berbicara bahasa Inggris haruslah seperti orang yang berada di sumbu ekstrim pertama: Berbicara cepat, pronounciation tepat, dan utamanya aksen seperti native. Menurutku.
Itulah yang terjadi di Indonesia menurutku, banyak orang yang tidak memiliki keberanian untuk berbicara dengan orang asing menggunakan bahasa Inggris. Ketidakberanian tersebut tidak menutup kemungkinan hal itu disebabkan oleh suatu pandangan kalau berbicara bahasa Inggris haruslah seperti orang yang berada di sumbu ekstrim pertama: Berbicara cepat, pronounciation tepat, dan utamanya aksen seperti native. Menurutku.
***
Hal itu
terjadi pada diriku sendiri, aku pernah
merasakan bagaimana aku malu untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris.
Padahal aku banyak mengikuti kursus setiap pulang sekolah. Alasannya karena aku
takut salah, aku malu untuk tidak berbicara dengan aksen yang bagus. Namun
semuanya berubah ketika aku masuk ke klub debat bahasa inggris ketika SMA,
coach ku menyadarkanku betapa yang terpenting adalah kemampuanku untuk dapat
menyampaikan gagasan di otakku. Berlatih setiap hari, sambil coach terus
membenarkan ketika ada vocabulary yang aku tidak tahu dan grammarku salah.
Jadilah aku English debater hingga awal perkuliahan.
Masalah
belum berakhir, karena aku hanya bisa berbahasa Inggris dalam debat, tidak
untuk melakukan percakapan sehari-hari. Aku masih merasa canggung untuk
bercakap-cakap dengan nyaman. Vakum di klub debat sekarang, membuatku merasa
malu lagi untuk berbicara bahasa Inggris. Tidak ada coach dan teman-teman dalam
klub yang membuatku tetap berani berbicara dengan bahasa Inggris seadanya ini.
Jadilah aku yang paling diam ketika aku mengikuti international conference
tahun 2016, aku hanya bisa berbicara public speaking menggunakan bahasa
Inggris, tidak untuk menyapa pemakalah lainnya.
Semua
berlalu hingga detik ini. Di Tokyo. Tak ada pilihan lain untuk tidak berbicara
dengan bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan orang lain, walaupun
sebenarnya pilihan terakhir, karena aku seharusnya berbicara
menggunakan bahasa Jepang. Namun disinilah titik dimana aku benar-benar berani
untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris bagaimanapun terbatasanya
kemampuanku.
***
Untuk sampai
ke titik dimana aku nyaman berbicara dengan bahasa Inggris dalam kehidupan
tentu tidaklah mudah. Sangat sering aku mendengar dari orang lain atas
keberanianku untuk berbicara dengan kemampuan terbatasku ini, meskipun aku di
Jepang, tentunya komentar dari orang Indonesia:
“Logatmu loh
mbak Indonesia banget”
Sebuah statement
yang mungkin biasa, namun bagiku, itu memiliki dampak besar dalam kemajuan
orang.
Sebagai aku
yang selalu peduli dengan omongan orang lain, pernyataan seperti itu memiliki
makna yang tak pantas menurutku. Sebuah makna yang menyiratkan bahwa kalau aku
tak memiliki aksen seperti native, maka aku tak pantas untuk berbicara bahasa
tersebut. Itulah mungkin alasan mengapa banyak orang Indonesia menganggap
dirinya tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, karena ia merasa tidak
memiliki aksen layaknya seorang native.
Bagiku dalam
bahasa, yang terpenting adalah pengetahuan tentang kata (vocabulary), tata
bahasa dasar (grammar, dan pengucapan (pronounciation). Vocab dan grammar sudah
banyak dipelajari di kelas, namun memang tak jarang pronounciation yang benar
masih butuh banyak waktu untuk belajar. Namun bukan berarti kita tak boleh
berbicara suatu bahasa apabila tidak menguasai ketiganya walaupun itu
memang kunci dasar untuk berbicara bahasa asing.
Namun yang
menyebalkan terletak pada keharusan untuk memiliki aksen yang persis seperti
native. Bagiku itu sangatlah sulit untuk dimiliki. Bukan berarti tidak bisa,
namun proses mencapainya butuh frekuensi yang tinggi untuk mempelajari dan
bergaul di lingkungan native itu sendiri. Hal inilah yang menjadikanku sebagai orang Indonesia kesulitan
untuk memiliki logat native.
Bukan
berarti aku menganggap memiliki aksen native tidak penting. Namun memiliki
keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada dalam otak kita dan dapat membuat
orang lain bisa paham adalah yang terpenting. Aku rasa, ketika aku melihat
pidato presiden atau menteri keuangan dalam bahasa Inggris, mereka tidak
memiliki aksen tertentu. Namun jelas kan kalau ibu Sri Mulyani pernah kuliah di Amerika dan
sering melakukan komunikasi internasional di forum internasional penting.
Sebisa
mungkin belajarlah suatu bahasa sesuai dengan karakteristik bahasa itu sendiri.
Itu dia mungkin bagi orang yang menekuni bidang sastra suatu bahasa, haruslah ia dapat menguasai bahasa hingga ke aksennya. Namun bagi kalian yang tidak, tak
ada salahnya untuk fokus berani berkomunikasi dan terus belajar memperbaiki.
Kalau memang
logatku begini, aku akan tetap terus berkomunikasi, dengan orang
Indonesia dan seluruh orang di berbagai belahan dunia.
Bahasa adalah alat komunikasi
Bukan harus selalu terdengar seperti orang native asli
Selama lawan bicara kita mengerti
Mengapa berbicara bahasa global harus tidak berani?
Bahasa adalah alat komunikasi
Bukan harus selalu terdengar seperti orang native asli
Selama lawan bicara kita mengerti
Mengapa berbicara bahasa global harus tidak berani?
Salam,
Sintia
0 comments