Menyimpan Kebanggaan Pada Anak untuk Diri Sendiri
Semenjak aku menjadi ibu, aku jadi paham kenapa dulu ada orangtua yang super bangga dan hebohnya memvideokan anaknya yang sedang tampil di panggung TK dengan gerakan tangan kecil yang meliuk-liuk sederhana.
Aku paham setelah menjadi ibu, rasanya anakku sudah sangat hebat di titik dimana dia berada.
Bahkan sekedar ketika Najwa bisa menggulingkan badannya di usia 6 bulan, aku merasa Najwa telah memiliki tingkat IQ yang tak berbeda jauh dengan Einstein.
Lebay. Padahal itu pencapaian milestone yang super normal dan bahkan ada banyak bayi yang bisa sejak 3 bulan melakukan itu. Mungkin.
****
"Anakku sudah bisa bicara banyak"
"Coba tunjukkan bagaimana suaranya cicak nak"
Seorang ibu yang usianya tidak berbeda jauh dengan Najwa mengatakan itu padaku.
"Wah hebat sekali kataku. Najwa belum bisa bicara apa-apa"
Sang ibu pun dengan lebih semangat menunjukkan anaknya bisa lebih banyak dari hal pertama yang ia pertontonkan padaku.
Aku pun terus memuji anak ibu tersebut dan merendahkan Najwa.
Padahal di saat yang bersamaan Najwa sedang berusaha memanjat jendela tinggi, dan di saat yang sama, anak ibu tersebut bahkan tidak berani melangkahkan kakinya pada suatu tempat yang tingginya tidak lebih dari 10 cm.
Yang terjadi dalam hatiku saat itu, aku masih berusaha membanggakan Najwa ku yang selalu aku anggap super hebat itu. Padahal sebenarnya Najwa kalah telak untuk urusan bicaranya dengan anak ibu tadi.
Tapi aku tetap memilih diam.
Aku bangga pada Najwa. Tapi aku yakin, apa yang aku ceritakan padanya tidak akan menjadikan dia bangga pada anakku.
Aku pun tidak merasa berkewajiban untuk membuat orang lain bangga kepadaku. Sama seperti aku yang biasa saja melihat ketertinggalan Najwa dibandingkan anak ibu tersebut. Tapi aku yakin, ibu itu sangat sangat bangga dengan perkembangan anaknya. Sama seperti aku yang super bangga dengan anakku.
***
Aku pun merasa mendapat pelajaran:
Setiap Orangtua pasti Punya Kebanggaan Besar Pada Anaknya.
Tapi setiap orangtua bisa memilih untuk meyakinkan orang lain untuk ikut berbangga pula pada anaknya. Atau tidak.
Aku rasa, aku memilih untuk menyimpan rasa kebanggaan pada Najwa untuk diriku sendiri saja
***
Setiap orang memiliki pilihan hidupnya sendiri-diri yang dilatarbelakangi oleh perbedaan sejarah kehidupan yang melandasinya.
Aku ingat betul, sebelum aku punya anak. Aku sama sekali tidak tertarik dengan anak kecil.
Tentu saja, mendengar dan melihat anak kecil, tidak memberikan ketertarikan dan perhatianku padanya. Seperti saat aku melihat orangtua yang heboh menceritakan anaknya yang bisa ini itu di usia tertentu. Aku merasa yaa itu hal biasa saja.
Padahal aku yakin, mungkin saat itu orangtua tersebut sedang menunjukkan kemampuan anaknya yang bisa lebih banyak dari rekan seusianya.
Tapi mungkin saja orangtua tersebut sama seperti aku yang punya perasaan melebihkan sesuatu yang sebenarnya sangat normal dialami anak seusiaku.
***
Disini, aku tidak bermaksud menyindir atau 'nyinyir' dengan para orangtua yang sering menunjukkan kemampuan anaknya ke khalayak umum. Cuma mungkin, aku pribadi, merasa itu hal yang tidak aku tertarik untuk lakukan pada orang lain.
Belum lagi katanya menunjukkan kehebatan anak kita pada orang lain, akan mengundang penyakit 'ain atau apalah itu sehingga orangtua yang upload kepintaran anaknya dibarengi ucapan MasyaAllah Tabarakallah.
Lagi lagi, aku memilih untuk tidak menunjukkan kebanggaanku pada orang lain.
Bukan berarti aku tidak bangga, aku yakin, perlu dipahami, sebagai orang tua, pasti kita akan selalu super bangga pada anak kita.
Setiap malam, aku selalu memandangi anakku yang rasa-rasanya semakin pintar saja.
Yaa tentu saja aku sebagai orangtua akan berpikir demikian. Karena kita sebagai orangtua tahu betul proses perkembangan anak kita dari yang baru lahir dan terlihat lemah tak berdaya itu, dengan segala prosesnya, sampai juga ke milestone-milestone yang baru.
Aku pribadi tak luput menceritakan setiap milestone baru dalam hidup Najwa karena yaa sebenarnya bukan bentuk bangga, tapi hanya bentuk rasa syukur saja sudah bisa mencapainya. Dan aku yakin, kebanyakan sebenarnya mungkin juga menunjukkan rasa syukurnya saja dengan apa yang dicapai anaknya.
Well, urusan hati, tidak ada yang tahu.
Mungkin orang yang aku anggap terlalu membanggakan anaknya. padahal yaa hanya sekedar menyampaikan rasa syukurnya saja. Mungkin aku juga yang terlalu berlebihan menanggapinya.
Tapi satu yang pasti:
Hal aneh yang tidak pernah aku rasakan dalam hidupku. Merasa sangat bangga dengan seseorang untuk hal sederhana yang dia lakukan.
Sampai detik ini, rasanya aku masih merasa aneh dengan perubahanku. tapi aku tetap berharap untuk tetap seperti biasa saja di hadapan orang lain. Karena aku yakin, sebenarnya Najwa pasti tidak semengesankan itu di mata mereka dibandingkan apa yang terlihat di mataku.
Yang sedang dan selalu bangga,
S.