Mengelola Keuangan yang Baik: Investasi di Kost-Kostan atau Saham? | Diaspora Bicara Uang #1
by
Sintia Farach Dhiba
- May 10, 2020
Berawal dari orang-orang sekitarku yang sering bertanya tentang investasi di saham. Aku tergerak untuk membahas terlebih dahulu tentang manajemen pengelolaan keuangan pribadi (personal finance management) secara mendasar.
Ramai pertanyaan ini sih terjadi seiring bertumbuhnya channel di sosial media yang mengingatkan masyarakat tentang pentingnya literasi keuangan agar kita bisa mengelola keuangan dengan baik.
Disini aku mau menjawab apakah semua orang di dunia ini harus investasi saham agar dikatakan telah mengatur keuangan dengan baik?
Pengelolaan keuangan yang baik itu harusnya seperti apa sih?
Tidak terhitung berapa banyak channel yg membahas bagaimana mengelola keuangan pribadi dengan baik. Aku pun sebagai anak muda lulusan akuntansi yang sekarang kuliah bisnis juga jadi tertarik untuk menjadi bagiannya.
Cuma entah kenapa. Ada beberapa hal yang mungkin pandanganku sedikit berbeda dari mainstream aliran pengelolaan keuangan.
Disclaimer: aku memang masih muda yang notabene apa yang aku lakukan masih kemungkinan salah, tapi rasanya tidak salah kan aku membagikan opini ku di negara yg bebas mengeluarkan pendapat ini.
***
Sebenarnya apa yang aku ingin bahas disini tidak seberbeda itu juga, cuma aku ingin kembali membahas perencanaan keuangan dari dasar.
Mari kita kembali ke pemahaman apasih personal finance management itu?
Seperti namanya, ini adalah praktik bagaimana seseorang mengelola uangnya. Masalah personal, setiap individu pasti bisa berbeda.
Karena namanya personal, sebenarnya keputusan keuangan yang dibuat itu benar-benar keputusan pribadi. Seharusnya.
Selain itu perbedaan mendasar adalah investasi di saham bisa bersifat compounding (melipatgandakan),
x
Cuma karena tidak setiap orang bisa membuat keputusan pribadi dengan benar, akibat kurang pengalaman dan/atau kurang pengetahuan, maka muncullah para personal financial advisor yang siap membantu mereka yang mempunyai masalah dan atau sekedar meminta bantuan agar pengelolaan keuangan mereka bisa jadi lebih baik.
Pertanyaannya, mengelola keuangan yang baik itu seperti apa sih?
Menurutku, jawabannya hampir tidak ada definisi pengelolaan keuangan yang baik. Itu tergantung dari tujuan hidup masing-masing orang.
Bisa jadi ada orang yang merasa telah sukses mengelola keuangannya selama dia bisa menyisihkan uang sepeser dari gaji yang diterima.
Namun, seiring dengan bertumbuhnya sosial media, muncullah definisi pengelolaan keuangan yang baik dan mulai merasuki banyak orang.
Yaitu...
Mereka yang bisa mengelola keuangan sehingga punya instrumen investasi yang bagus, dimana portofolionya bisa menghasilkan penghasilan pasif (passive income) dengan tingkat pengembalian (return) yang tinggi, dengan investasi di saham misalnya.
Apakah iya?
Sebenarnya sebelum kita jauh jauh bicara tentang instrumen investasi. Ada kalanya kita memahami tentang konsep keuangan itu sendiri bagaimana.
Kenapa aku bilang bicara investasi itu jauh? Karena menurut aku, ada 4 tingkatan seseorang dalam mengelola keuangan personal. Dalam setiap tingkatannya, bisa jadi tingkat dasar sudah sangat bagus untuk orang tertentu, walau pastinya tingkatan paling atas itulah yang paling ideal.
Pertama, selama ada selisih lebih (surplus) dalam satu bulan, itu bagus
Karena aku anak akuntansi, aku mau jelasin lewat logika akuntansi.
Di akuntansi, ada konsep laba rugi.
Apa itu laba rugi?
Ya gampang saja, itu tentang menghitung berapa sih laba atau rugi kita, seenggaknya dalam satu bulan.
Berapa pendapatan atau gaji yang kita terima, dibandingkan dengan pengeluaran yang kita lakukan. Konsepnya sederhana sih, jangan sampai besar pasak daripada tiang
Kalau pendapatan kamu lebih kecil dari pengeluaran. Ya logikanya jelas, kamu rugi.
Bagaimanapun tujuan hidupnya, tidak ada ceritanya pengeluaran melebihi pendapatannya, berapapun level gajinya. Gak lucu kan karena kebanyakan pengeluaran, sampai-sampai pengeluarannya ditanggung sama utang.
Dan kalau boleh jujur, masih banyak loh orang di luaran sana yang aku tahu, belum menyadari ini. Mentang-mentang ada kartu kredit, asal gesek aja.
Jadi, menurutku, di tahapan pertama, seseorang yang bisa punya surplus dalam pengelolaan keuangan pribadinya, itu sudah bagus kok.
Kedua, surplus dari pengelolaan keuangan bisa diubah jadi harta yang bermanfaat
Tahap kedua, setidaknya orang-orang sudah bisa mulai menabung. Nah tentu saja yang namanya pegang uang, tidak enak rasanya kalau tidak dikeluarkan. Nah, di titik ini, biasanya juga walaupun ada orang yang sudah bisa menyimpan lebih uangnya, tapi uangnya itu tidak berubah menjadi apa-apa.
Memang tidak sampai berhutang sih, cuma karena pengelolaan keuangan yang kurang bagus. Jadi kurang tahu apa saja aset yang sudah dimiliki. Uangnya hanya disimpan di bank saja.
Nah, alangkah baiknya disini mulai berpikiran untuk menjadikan si uang itu lebih produktif, atau setidaknya memberikan nilai manfaat lebih untuk kita.
Disinilah perlu dipahami lagi konsep harta yang sebenarnya.
Definisi harta bisa berbeda-beda lagi tergantung dari literasi keuangan setiap orang.
Ada yang bilang kalau harta itu ya segala sesuatu yang kita miliki, tapi dalam mengelola keuangan pribadi, harusnya harta tidak seperti itu saja.
Harta yang baik adalah harta yang bisa memberikan nilai manfaat kepada kita. Bukannya dengan memiliki harta, itu hanya jadi beban kepada kita.
Misalnya, mobil itu penting untuk keluarga tersebut, memilikinya tentu tidak salah, yang salah kalau setiap punya uang, dibelikan mobil terus, padahal di balik punya mobil ada perawatan dan pajak yang dibayarkan tinggi banget, sampai uangnya terus tergerus dengan memiliki si aset itu.
Di titik ini, orang sudah bisa memilah milih mana harta yang bermanfaat dan tidak,merupakan titik mengelola keuangan yang bagus.
Kedua, surplus dari pengelolaan keuangan bisa diubah jadi harta yang produktif
Inilah dia munculnya konsep pengelolaan rumah tangga yang lebih keren lagi.
Jangan sampai harta itu cuma diam saja, tidak produktif. Tidak ada tambahan nilai dengan kita memilikinya.
Ada konsep finance di luaran sana, yang namanya time value of money, atau nilai waktu dari uang. Uang yang kita miliki sekarang, akan berbeda jumlahnya dengan uang yang kita miliki di masa depan. Gampangnya, dulu, Rp10.000 bisa dapat 10 indomie, sekarang Rp10.000 cuma dapat 4 indomie aja. Nilai dari Rp10.000 itu berkurang dulu dan sekarang, makanya kalau uang terus didiamkan saja dalam bentuk uang tunai, apalagi, itu namanya uang tidak produktif.
Akhirnya kita perlu menginvestasikan uang itu agar uang itu bisa mengikuti nilai waktu dari uang. Bahkan kalau bisa, si uang itu harus bisa memberikan penghasilan tambahan ke kita secara pasif (passive income). Dalam artian, kita bisa punya tambahan pendapatan dengan memiliki si harta tersebut.
Nah ini dia, biasanya orang-orang mulai berpikiran untuk membeli kost-kostan, rumah untuk dikontrakkan, dan sawah.
Jelas dong, tujuannya, agar kita bisa mendapatkan uang di luar dari pendapatan utama kita. Kita jadi bisa menerima penghasilan dari hasil panenan sawah. Aku ingat, aku pernah bantu menghitungkan seseorang yang mau investasi kostan di Kota Malang. Hasilku sih bilang investasi kostan itu bsia menghasilkan 7% per tahun, rata-rata, ya dengan banyak asumsi di dalamnya lah ya.
Ada juga yang mau mudah, uangnya taruh di deposito bank, aman dan tanpa risiko. Setidaknya uang kita bisa produktif di instrumen keuangan itu, daripada di tabungan saja.
Cuma masalahnya, seakan-akan jaman sekarang, khususnya di kalangan anak muda, cara membuat uang yang produktif itu tempatnya harus di instrumen keuangan, di saham atau reksadana,
Apa iya?
Dasarnya sih iya. Cuma tetap yang perlu dipahami, ini personal finance. Setiap individu punya karakteristik masing-masing, sehingga punya pilihan investasi masing-masing.
Sebuah kesalahan kalau menuntut bahwa pengelolaan keuangan rumah tangga yang baik haruslah mereka yang bisa mempunyai tingkat imbal hasil paling tinggi.
Tau kan setiap imbal hasil yang kita harapkan, juga akan melekat risiko yang dihadapinya.
Jangan tanya dulu berapa imbal hasil yang kita inginkan.
Namanya manusia pasti menginginkan imbal hasil setinggi-tingginya, tapi tanya dulu seberapa risiko yang mampu kita ambil?
Kalau tidak kuat dengan risiko tinggi, ya jangan ambil risiko tersebut.
Belum lagi, setiap keluarga juga punya value yang mereka mau terapkan kan. Mereka punya tujuan hidup sendiri-sendiri. Misal ada yang ingin memproduktifkan uangnya dengan membantu ibu-ibu miskin buka usaha. Ada juga yang ingin investasi sawah dekat rumahnya, kost-kostan dan investasi yang terasa 'kuno' lainnya.
Menurutku, tahapan pengelolaan keuangan sampai titik ini sudah cukup ideal. Setidaknya ada jaminan di masa tua nanti atas aset yang kita kumpulkan dari sekarang.
Namun memang iya, ada lagi nih tahapan teratas dari pengelolaan keuangan rumah tangga.
Keempat, mengelola keuangan untuk segera mencapai kebebasan finansial (financial freedom)
Kebebasan finansial itu apa sih?
Intinya sih pensiun dini, kamu bisa mendapatkan uang, tanpa perlu bekerja karena kamu sudah membangun portofolio investasi sebaik mungkin. Cepat berhenti kerja, dan bisa makan dari pendapatan pasif.
Nah itu dia, pengelolaan keuangan personal tahap ini meminta agar investasi yang dipilihnya memiliki return setinggi-tingginya. Tentu saja, sejauh ini, bisa dibilang investasi dengan return yang tinggi bisa didapatkan dengan investasi di instrumen keuangan yang sudah kuat, seperti bursa saham atau dengan membeli produk reksadananya. Itu sih alasannya.
Bentar, memang dengan investasi di kostan, tidak bisa buat financial freedom ya?
Kenapa tidak? Lagi-lagi, ini keputusan personal.
Banyak juga loh cerita, orang yang menabung agar punya kost-kost an. Segera pensiun, dan diam di rumah yang ada kost nya. Memang sih kontroversial, kalau dihitung-hitung bisa saja return investasi di saham atau reksadana, yang rata-rata 12% saat ini lebih tinggi daripada investasi di kost-kost an, yang dari hitunganku, sekitar 7%, seperti orang investasi di deposito biasa.
Cuma perlu diingat gak semua orang bisa sukses memilih saham terbaik yang mendatangkan passive income di masa depan. Kalau memang mau sampai di tahap ini, ya benar-benar harus belajar banyak, dan untungnya sudah banyak platform yang bisa membantu kita untuk bisa belajar berinvestasi untuk mencapai financial freedom.
Selesai deh pembahasannya.
***
Intinya, pesan dari aku, jangan sampai pilih instrumen investasi karena ikut-ikutan.
Lagi lagi, aku disini datang untuk mengatakan. Personal finance itu urusan pribadi. Jangan sampai merasa terhimpit, merasa jadi bodoh sendiri, karena instrumen investasi kita dianggap tradisional.
Aku pernah kok ada di titik menjadi seorang yang merasa pendosa karena tidak berinvestasi di instrumen saham. Seakan-akan aku adalah orang yang paling bodoh dalam mengelola keuangan. Apakah iya? Bisa iya, bisa tidak juga.
Bisa saja iya, mengingat aku yang lulusan akuntansi tapi tidak mau belajar mempraktikan analisis saham dan membelinya.
Bisa tidak, karena aku dan suamiku punya profil risiko sendiri. Di awal nikah dulu, kami memilih untuk membeli aset yang bermanfaat saja, sebelum memikirkan untuk memproduktifkannya secara maksimal.
Memang sih investasi saham itu lebih cepat mulai, lebih baik tapi tetap itu jadi pilihan masing-masing orang untuk memilihnya.
Aku percaya, apa yang kami lakukan tidak salah. Ini keputusan keuangan kami. Personal finance kami.
Kamu yang disana harus berani juga berpikir demikian, sambil terus belajar gimana personal finance kamu sampai di tahap puncak kesuksesan yang kamu inginkan.
Disclaimer: semua yang dibahas disini, murni opini pribadi aku. Yuk diskusi :)
Materi ini sudah aku bahas juga di youtube aku yaa...
Materi ini sudah aku bahas juga di youtube aku yaa...