Demokrasi itu Berisik: Sebuah Percobaan Memahami Pilihan Orang Lain
"Kenapa sih pilih 02? Udah jelas pencalonan wapres nya dilalui dengan proses kecurangan lewat MK"
"Kenapa sih pilih 01? Udah tahu dia cuma jago ngomong doang, gak bisa kerja"
"Kenapa sih pilih 03? Udah jelas dia pegawai partai. Gak bakal bisa buat perubahan"
Hari ini, 14 Februari 2024, adalah waktunya negara demokrasi terbesar di dunia mencapai titik penghujung memilih calon pemimpin negara 5 tahun berikutnya. Jadi lebih ramai, karena petahana sudah mencapai masa akutnya sehingga harus digantikan oleh pemimpin baru.
Pemilu tahun ini jadi lebih menarik, karena presiden yang saat ini tidak bisa mencalonkan diri lagi harusnya memunculkan pilihan baru yang bisa mewarna pilihan demokrasi. Kenyataannya di pemilu kali ini, anak dari presiden petahana mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Tidak mencalonkan diri sih. Diangkat. Diminta jadi wakil presiden.
Oleh siapa? Oleh calon presiden dari lawan yang kalah di pemilu sebelumnya.
Menarik bukan?
***
Dari paragraf awal tersebut, sepertinya sudah kelihatan sih ya, aku condong memilih kemana.Yes. Paragrafku sangat terlihat bahwa aku merasa tidak nyaman dengan pencalonan anak presiden itu.
Sebenarnya sah-sah saja kalau dia mau mencalonkan diri. Tapi karena terdapat proses yang menyalahi aturan yang melibatkan perubahan konstitusi secara sistemik demi bisa mengangkat si anak presiden itu, aku benar-benar tidak bisa memaafkan.
Itu pilihanku.
Aku membenci proses awal yang sangat mengotori dasar berkebangsaan.
Tapi tentu saja. Tidak semua orang seperti aku.
Kebanyakan orang di sekitarku memilih untuk tidak memilih anak presiden yang disebut "anak haram konstitusi" tersebut. Tapi nyatanya, masih banyak juga kok yang mendukung beliau.
Tulisanku kali ini tidak dibuat untuk memberikan berbagai alasan untuk mendukung pilihanku. Tapi aku mengajak diriku sendiri kembali berpikir, kenapa banyak juga orang yang tidak sependapat denganku. Apa yang ada di otak dan hati mereka?
***
Mama ku pernah berkata bahwa
“Orang yang bijaksana dapat memahami pilihan orang lain yang berbeda dari kita".
Kebetulan aku dikelilingi orang-orang yang melayangkan hashtag #AsalBukan02. Otak dan hatiku menyetujuinya, dan postingan circle ku yang terus menerus membagikan alasan mereka membuatku semakin teguh untuk berpikiran yang sama. Belum lagi, algoritma internet juga memahami pilihanku sehingga aku semakin dicekoki alasan untuk menjadi pemilih #AsalBukan02.
Sebagai tim pemilih #AsalBukan02 tentu saja aku dicekoki alasan-alasan kenapa harus tidak memilih pasangan calon 02. Hingga muncul stigma bahwa
"Orang yang berintelektual harusnya tidak memilih 02".
Kalau begitu, apakah orang yang memilih 02 berarti tidak intelektual?
Jahat sekali ya kesannya. Para pemilih 02 pasti tersulut dengan itu. Itu statement yang salah menurutku. Cukup ngajak berantem. Dan kalau paslon 02 benar-benar terpilih. Pasti dongkol sekali rasanya karena kesannya paslon tersebut terpilih karena alasan 'kebodohan'.
Sejak pikiran itu hinggap di otakku, aku mencoba berpikir menyelami alasan kenapa orang lain yang 'bisa berpikir' masih ada yang memilih paslon 02. Tentu saja ini semua aku tulis dengan segala biasku.
Alasan Pertama, Efisiensi Demi Kepastian Ekonomi
Paslon 02 saat ini selalu menduduki elektabilitas yang paling tinggi. Tim kampanye paslon 02 aku akui cukup hebat dalam hal marketing. Banyak influencer digaet, dan bisa selalu memenangkan FYP Tiktok, platform yang super digemari GenZ dan mayoritas masyarakat yg suka informasi cepat.
Elektabilitas tinggi menjadikan mereka ingin untuk memenangkan kontestasi politik ini dalam satu putaran.
Aku menemukan mereka yang berkecimpung di dunia bisnis ingin segera menyudahi ketidakpastian ekonomi ini. FYI, seperti biasa nilai saham terasa bergerak datar karena investor banyak yang wait-and-see dengan siapa yang terpilih dan nantinya akan berdampak pada kebijakan publik.
Cara cepatnya. Ya sudahlah pilih yang elektabilitasnya paling tinggi. Dibuat satu putaran saja. Segera selesai. Segera mulai menjalankan roda perekonomian dengan normal lagi.
Apakah mereka yang berpikir demikian tidak intelektual?
Tentu saja tidak.
Aku sendiri juga tim yang tidak suka banyak putaran pemilu. Menghabiskan uang saja.
Tapi menurutku sangat tidak elok untuk selalu mengaitkan segala-galanya dengan ekonomi bukan. Cuma yaa tiap orang kan berbeda pandangan ya.
Alasan Kedua, Cukup Keberlanjutan, Perubahan itu Sulit
Membuat perubahan itu tidak mudah. Banyak aspek yang diperlukan. Apalagi ini dalam konteks bernegara.
Aku sendiri tidak terlalu mengerti teori tata negara. Tapi yang pasti, presiden sebagai lembaga eksekutif tidak mungkin bisa menjalankan segala kemauannya tanpa mendapat persetujuan lembaga legislatif. CMIIW.
Mereka menganggap bahwa perubahan yang digaungkan oleh presiden, tidak serta merta dapat berubah, apalagi kalau presiden itu tidak didukung oleh partai yang kuat. Segala perubahan itu hanya akan menjadi angan.
Ya sudahlah pilih yang pasti-pasti saja. Ide perubahan itu tetap akan jadi mimpi.
Konsep berpikir ini juga dijadikan alasan bahwa presiden tidak akan sewenang-wenang itu dalam menjalankan negara. Toh ada lembaga legislatif. Katanya.
Tapi sedihnya, kasus mahkamah konstitusi dan perubahan alokasi untuk bansos pada masa pemilu itu menggambarkan kalau presiden sebenarnya bisa sewenang-wenang sih ya. Hmm yasudahlah...
Alasan Ketiga, Semuanya Akan Curang Kalau Diberi Kesempatan
Pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden adalah kecurangan. Semuanya tak menampik itu, meskipun dia pendukung paslon 02. *Kalau ada yang masih gak merasa itu kecurangan. Itu udah fanatik gila sih zzz
Yes. Paslon 02 melakukan kecurangan, menggunakan power yang dimiliki saat ini.
Tapi apa yakin kalau paslon lain diberikan power yang sama, maka tidak akan melakukan kecurangan yang sama?
Jadi, asumsi dasarnya sih semuanya akan membuat kecurangan dengan kekuasaan yang dimiliki. Kebetulan saja paslon 01 dan 03 tidak punya power.
Alasan Lain
Ya memang program kerjanya disukai. Misal program makan siang gratis gitu.
Aku pun juga setuju sih. Sama seperti di Jepang, memang itu program perbaikan gizi nasional yang bagus. Bukan untuk mengatasi stunting tapi loh ya targetnya.
Cuma memang aku menganggap itu tidak masuk hitunganku sih dalam menjadikannya prioritas anggaran nasional.
Well, mereka yang setuju akan menganggap hitungannya masih masuk dan oke oke saja untuk dijalankan.
Yaa setiap orang ada analisisnya sendiri-sendiri sih.
Dan alasan lainnya.
Cuma kalau alasannya konspirasi dan mengaitkan2nya dengan ikut campur kepentingan asing. Duh malas aku terima alasannya.
****
Sekarang kembali ke aku sendiri,
Tentu saja aku menjadi tim #AsalBukan02 dengan alasan-alasan yang sebaliknya dari alasan di atas.
Aku juga sadar sih kalau perubahan itu tidak mudah. Tapi yaa seenggaknya niat untuk berubah akan lebih mendekatkan diri kita ke perubahan daripada tidak sama sekali.
Mungkin karena aku masih muda juga ya, yang katanya Tan Malaka: "Kemewahan terbesar yang dimiliki anak muda adalah idealisme".
Maka aku tetap menuntut kehidupan yang idealis dengan perubahan-perubahan yang ingin ditawarkan oleh paslon lain.
Aku yang idealis ini, tentu juga memberikan asumsi bahwa paslon yang aku pilih tidak akan melakukan kecurangan seperti yang dilakukan oleh paslon 02 walaupun diberikan kekuasaan yang sama.
Aku tau dunia ini jahat.
Tapi menurutku, akan lebih jahat lagi kalau kita menyerah dengan keadaan dan menganggap semua orang di dunia ini jahat.
No! Aku orang baik. Aku percaya ada orang baik juga di luaran sana.
Kalau memang nyatanya enggak. Ya sakit hati sih. Pak Jokowi dulu kita anggap baik, toh ya nyatanya berbuat ‘jahat’.
Tapi yaa itu kan hak mereka berpikir. Mungkin ada alasan lain juga yang menurut mereka, segala kecurangan yang dilakukan dapat dijawab dengan perubahan lebih baik dengan hasil berlipat ganda. Itu asumsi mereka. Dan itu ya sah-sah saja.
Sama seperti aku, yang merasa perubahan itu dapat dilakukan oleh orang yang sama sekali dalam otakku tidak melakukan kecurangan secara masif dan sistemik tersebut.
****
Well...
Kembali lagi, pilihan kita akan sesuatu didasarkan pada pengalaman hidup kita sebelumnya.
Setiap orang pasti punya pengalaman hidup yang berbeda sehingga mempengaruhi proses berpikir dan bernalar sampai berdampak pada perbedaan pilihan akan sesuatu. Dan itu semua ya wajar.
Pilihanku terbaik untuk aku. Dan pilihan mereka adalah terbaik untuk mereka.
Cuma ya bukan berarti menyampaikan gagasan atas alasan aku memilih X dan tidak memilih Y adalah proses saling menjatuhkan. No! Itu wajar dalam berdemokrasi.
Kita harus terbiasa untuk menyampaikan gagasan, dijatuhkan oleh pihak lain atas gagasan yang kita sampaikan, lalu kita bangkit lagi untuk menyangkal dan menjawab protes atas gagasan dari kita tersebut.
Demokrasi memang berisik.
Kalau mau tidak berisik, ya jadi negara monarki saja!
Yuk, kita bersyukur diberi kesempatan untuk bisa memilih langsung pemimpin kita. Ini rahmat Tuhan loh. Banyak negara lain yang berdarah-darah, seperti kita saat reformasi dulu, demi mendapat hak bersuara seperti sekarang.
Sadari pilihan kita. Berbeda itu biasa. Nothing personal!
Kalau pilihanku tidak terpilih. Ya gapapa. Ini suaraku. Setidaknya aku telah bersuara.
Salam,
S.